Jumat, 30 September 2016

Sejarah Panumbangan

Asal-usul Panumbangan (Versi 1)

Asal-usul nama ‘Panumbangan’ nampaknya baru bisa ditelusuri dari cerita turun-temurun, dan bukan dari data primer sejarah yang catatannya dapat dibuktikan. Salah satu tulisan yang memuat kisah tentang kawasan ini adalah buku “Sejarah Panjalu” yang ditulis oleh Hendar Suhendar, SH., diterbitkan tahun 2007. Buku tersebut, atau setidaknya kutipan dari buku tersebut, banyak dijadikan sumber tulisan yang berkaitan tentang asal-usul Panumbangan, meskipun sayangnya tidak semua situs mencantumkannya. Berikut ini, adaptasi bebasnya:

Syahdan, Puteri Kencana Larang yang dipersunting Raja Majapahit -bergelar Prabu Brawijaya- sudah berbadan dua dan ingin sekali menemui kedua orang-tuanya di Pajajaran (catatan: ada juga tulisan lain yang menyebut nama puteri tersebut sebagai Suci Larang, dan suaminya adalah Pangeran Gajah Wulung, masih putra mahkota, belum menjadi raja di Majapahit). Meski kehamilannya memasuki masa-masa akhir dan hampir melahirkan, tetapi niatannya untuk pulang ke kampung halaman tak dapat dihalang-halangi lagi. Ia ingin sekali melahirkan di dekat ibunda dan ayahanda tercintanya.

Sang Raja Majapahit akhirnya mengalah dan mengizinkan istrinya meninggalkan istana di bawah kawalan seorang menteri dan serombongan pasukan penjaga. Tak urung ia mencucurkan air mata karena kesedihannya, meskipun ia tak dapat berbuat apa-apa, karena saat itu negara sangat membutuhkan kehadirannya.

Berpuluh-puluh hari lamanya rombongan Puteri Kencana Larang menempuh perjalanan dan melewati bermacam hutan belantara. Akhirnya mereka tiba di sebuah tempat di dekat sebuah sungai (yang dimaksud, mungkin Sungai Citanduy). Mereka tak sadar bahwa sebetulnya mereka sudah berada di dekat tujuannya.

Saat itulah, Sang Putri merasakan kandungannya menggeliat lebih hebat dari biasanya. Tanda-tanda kelahiran sudah dirasakannya, sementara perjalanan ke Kawali, pusat Kerajaan Pajajaran, belum pasti kapan sampainya.

“Kita harus berhenti di sini, Tuan Puteri. Kami akan persiapkan tempat berlindung yang nyaman. Rasanya tak mungkin melanjutkan perjalanan lagi dengan keadaan Tuan Puteri yang seperti ini,” kata Menteri, pimpinan rombongan pengawal. Puteri Kencana Larang tak dapat menolak usulan tersebut.

Akhirnya, dibuatlah tempat peristirahatan yang dapat melindungi Puteri Kencana Larang dari hujan, panas dan terutama binatang buas. Untuk membuat rumah dan pelataran yang nyaman, ditebanglah pepohonan di tempat itu. Berbagai jenis pohon dalam berbagai ukuran menjadi ‘korban’ untuk keperluan mendesak itu. Satu persatu, pepohonan tumbang.

“Banyak sekali pohon tumbang di sini. Mulai saat ini, kita namakan tempat ini Panumbangan,” cetus Sang Puteri.

Ia kemudian melahirkan di tempat tersebut. Sepasang bayi kembar, lelaki dan perempuan, menjadi buah hati hasil pernikahan yang menyambungkan Majapahit dan Pajajaran.

Kata ‘tumbang’ dianggap kurang populer untuk menunjukkan pohon yang roboh dalam bahasa Sunda, dan jika mengacu kisah ini maka dapat dimengerti mereka yang menyebut tumbang berasal dari rombongan Majapahit. Kamus Basa Sunda sendiri mengakui keberadaan kata ‘tumbang’ sebagai serapan dari Bahasa Indosesia.

Apakah benar nama “Panumbangan” berasal dari kisah di atas, yang bersambung dengan kisah ‘Asal-usul Maung Panjalu’? Atau ini hanyalah sekedar kisah saja? Ada baiknya, kita membaca pula versi lain (Versi 2), tentang asal-usul Panumbangan, yang dapat kita jadikan perbandingan.


Asal-usul Panumbangan (Versi 2)

Dahulu kala, terdapat sebuah kampung kecil yang tentram di kaki Gunung Sawal. Jumlah rumah di pemukiman tersebut tidak banyak, hanya tujuh rumah saja. Kerangka dan lantai rumah-rumah tersebut terbuat dari kayu, menggunakan atap ijuk dan berdinding anyaman bambu. Anyaman bambu dalam bahasa Sunda disebut bilik. Konon, keberadaan sebuah tempat bernama Pasir Bilik berkaitan dengan kisah ini.

Syahdan, terdapatlah seorang gadis cantik di kampung tersebut, yang bernama Nyi Mas Numang. Ia berparas ayu dan tutur katanya lemah lembut memikat hati. Tak heran, banyak pemuda yang berminat mempersuntingnya. Salah seorang di antaranya adalah seorang pangeran yang gagah perkasa.

Sang Pangeran mengajukan keinginannya, tetapi sayang, ternyata hanya bisa pulang dengan tangan hampa. Ternyata, sang gadis pujaan telah memiliki pilihan hati yang amat dicintainya. Tak lain, pemuda yang beruntung itu adalah temannya semenjak kecil. Orang-tua Nyi Mas Numang sendiri sebenarnya menginginkan anaknya berjodoh dengan pangeran tersebut, tetapi kesetiaan anaknya tak dapat ditawar-tawar.

Sang Pangeran sakit hati dan murka. Ia kemudian menendang sebuah kuali besar (bahasa sunda: kancah), hingga terbang terpental akibat kekuatan kesaktiannya. Tempat hinggapnya kuali tersebut kini dikenal dengan nama bukit Kancah Nangkub.

Nyi Mas Numang konon kemudian diusir oleh orang-tuanya. Ia kemudian pergi bersama kekasihnya ke kaki bukit Kancah Nangkub. Di tempat itu ia tak henti-hentinya menangis, karena cintanya harus ditebus dengan pengusiran oleh orang-tuanya.

Air matanya itulah yang konon kemudian menjadi mata air yang hingga kini disebut Cipanumbangan, yang berasal dari kata ‘cipa’, asalnya ‘cipanon’ (air mata), dan ‘numangan’, asalnya dari kata ‘numangan’ (Nyi Mas Numang). Mata air tersebut menjadi sumber dan hulu sungai yang mengalir di wilayang Panumbangan dan Tanjungmulya.

Cerita asal-usul ini berasal dari situs blog Desa Panumbangan, dan merupakan versi ke-2 yang sangat berbeda dari kisah “Asal-usul Panumbangan (Versi 1)” sebelumnya. Selain dua cerita tersebut, ternyata terdapat versi ke-3 yang akan diterbitkan pada kesempatan mendatang.

0 komentar:

Posting Komentar