Asal-usul Panumbangan (Versi 1)
Asal-usul
nama ‘Panumbangan’ nampaknya baru bisa ditelusuri dari cerita
turun-temurun, dan bukan dari data primer sejarah yang catatannya dapat
dibuktikan. Salah satu tulisan yang memuat kisah tentang kawasan ini
adalah buku “Sejarah Panjalu” yang ditulis oleh Hendar Suhendar, SH.,
diterbitkan tahun 2007. Buku tersebut, atau setidaknya kutipan dari buku
tersebut, banyak dijadikan sumber tulisan yang berkaitan tentang
asal-usul Panumbangan, meskipun sayangnya tidak semua situs
mencantumkannya. Berikut ini, adaptasi bebasnya:
Syahdan, Puteri Kencana Larang yang dipersunting Raja Majapahit
-bergelar Prabu Brawijaya- sudah berbadan dua dan ingin sekali menemui
kedua orang-tuanya di Pajajaran (catatan: ada juga tulisan lain yang
menyebut nama puteri tersebut sebagai Suci Larang, dan suaminya adalah
Pangeran Gajah Wulung, masih putra mahkota, belum menjadi raja di
Majapahit). Meski kehamilannya memasuki masa-masa akhir dan hampir
melahirkan, tetapi niatannya untuk pulang ke kampung halaman tak dapat
dihalang-halangi lagi. Ia ingin sekali melahirkan di dekat ibunda dan
ayahanda tercintanya.
Sang Raja Majapahit akhirnya mengalah dan mengizinkan istrinya
meninggalkan istana di bawah kawalan seorang menteri dan serombongan
pasukan penjaga. Tak urung ia mencucurkan air mata karena kesedihannya,
meskipun ia tak dapat berbuat apa-apa, karena saat itu negara sangat
membutuhkan kehadirannya.
Berpuluh-puluh hari lamanya rombongan Puteri Kencana Larang menempuh
perjalanan dan melewati bermacam hutan belantara. Akhirnya mereka tiba
di sebuah tempat di dekat sebuah sungai (yang dimaksud, mungkin Sungai
Citanduy). Mereka tak sadar bahwa sebetulnya mereka sudah berada di
dekat tujuannya.
Saat itulah, Sang Putri merasakan kandungannya menggeliat lebih hebat
dari biasanya. Tanda-tanda kelahiran sudah dirasakannya, sementara
perjalanan ke Kawali, pusat Kerajaan Pajajaran, belum pasti kapan
sampainya.
“Kita harus berhenti di sini, Tuan Puteri. Kami akan persiapkan tempat
berlindung yang nyaman. Rasanya tak mungkin melanjutkan perjalanan lagi
dengan keadaan Tuan Puteri yang seperti ini,” kata Menteri, pimpinan
rombongan pengawal. Puteri Kencana Larang tak dapat menolak usulan
tersebut.
Akhirnya, dibuatlah tempat peristirahatan yang dapat melindungi Puteri
Kencana Larang dari hujan, panas dan terutama binatang buas. Untuk
membuat rumah dan pelataran yang nyaman, ditebanglah pepohonan di tempat
itu. Berbagai jenis pohon dalam berbagai ukuran menjadi ‘korban’ untuk
keperluan mendesak itu. Satu persatu, pepohonan tumbang.
“Banyak sekali pohon tumbang di sini. Mulai saat ini, kita namakan tempat ini Panumbangan,” cetus Sang Puteri.
Ia kemudian melahirkan di tempat tersebut. Sepasang bayi kembar, lelaki
dan perempuan, menjadi buah hati hasil pernikahan yang menyambungkan
Majapahit dan Pajajaran.
Kata ‘tumbang’ dianggap kurang populer untuk menunjukkan pohon yang
roboh dalam bahasa Sunda, dan jika mengacu kisah ini maka dapat
dimengerti mereka yang menyebut tumbang berasal dari rombongan
Majapahit. Kamus Basa Sunda sendiri mengakui keberadaan kata ‘tumbang’
sebagai serapan dari Bahasa Indosesia.
Apakah benar nama “Panumbangan” berasal dari kisah di atas, yang
bersambung dengan kisah ‘Asal-usul Maung Panjalu’? Atau ini hanyalah
sekedar kisah saja? Ada baiknya, kita membaca pula versi lain (
Versi 2), tentang asal-usul Panumbangan, yang dapat kita jadikan perbandingan.
Asal-usul Panumbangan (Versi 2)
Dahulu
kala, terdapat sebuah kampung kecil yang tentram di kaki Gunung Sawal.
Jumlah rumah di pemukiman tersebut tidak banyak, hanya tujuh rumah saja.
Kerangka dan lantai rumah-rumah tersebut terbuat dari kayu, menggunakan
atap ijuk dan berdinding anyaman bambu. Anyaman bambu dalam bahasa
Sunda disebut bilik. Konon, keberadaan sebuah tempat bernama Pasir Bilik
berkaitan dengan kisah ini.
Syahdan, terdapatlah seorang gadis cantik di kampung tersebut, yang
bernama Nyi Mas Numang. Ia berparas ayu dan tutur katanya lemah lembut
memikat hati. Tak heran, banyak pemuda yang berminat mempersuntingnya.
Salah seorang di antaranya adalah seorang pangeran yang gagah perkasa.
Sang Pangeran mengajukan keinginannya, tetapi sayang, ternyata hanya
bisa pulang dengan tangan hampa. Ternyata, sang gadis pujaan telah
memiliki pilihan hati yang amat dicintainya. Tak lain, pemuda yang
beruntung itu adalah temannya semenjak kecil. Orang-tua Nyi Mas Numang
sendiri sebenarnya menginginkan anaknya berjodoh dengan pangeran
tersebut, tetapi kesetiaan anaknya tak dapat ditawar-tawar.
Sang Pangeran sakit hati dan murka. Ia kemudian menendang sebuah kuali
besar (bahasa sunda: kancah), hingga terbang terpental akibat kekuatan
kesaktiannya. Tempat hinggapnya kuali tersebut kini dikenal dengan nama
bukit Kancah Nangkub.
Nyi Mas Numang konon kemudian diusir oleh orang-tuanya. Ia kemudian
pergi bersama kekasihnya ke kaki bukit Kancah Nangkub. Di tempat itu ia
tak henti-hentinya menangis, karena cintanya harus ditebus dengan
pengusiran oleh orang-tuanya.
Air matanya itulah yang konon kemudian menjadi mata air yang hingga kini
disebut Cipanumbangan, yang berasal dari kata ‘cipa’, asalnya ‘cipanon’
(air mata), dan ‘numangan’, asalnya dari kata ‘numangan’ (Nyi Mas
Numang). Mata air tersebut menjadi sumber dan hulu sungai yang mengalir
di wilayang Panumbangan dan Tanjungmulya.
Cerita asal-usul ini berasal dari
situs blog Desa Panumbangan, dan merupakan versi ke-2 yang sangat berbeda dari kisah
“Asal-usul Panumbangan (Versi 1)” sebelumnya. Selain dua cerita tersebut, ternyata terdapat versi ke-3 yang akan diterbitkan pada kesempatan mendatang.